Banyak masyarakat menganggap bahwa pemasungan merupakan penanganan yang terbaik bagi orang dengan masalah kejiwaan (OMDK). Padahal cara pemasungan tersebut sama artinya merampas hak hidup seseorang. Kebanyakan dari masyarakat berpersepsi bahwa pemasungan dilakukan bagi penderita gangguan jiwa supaya tidak mengganggu lingkungan sekitarnya dengan cara diikat.
Sebenarnya secara medis pemasungan bagi penderita gangguan jiwa itu tidak ada. Kurangnya biaya bagi masyarakat kurang mampu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keluarga yang mengalami penderita gangguan jiwa harus dipasung.
Padahal masalah pasung dan penelantaran sudah diatur dalam peraturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang telantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM. 29/6/15, tertanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa.
Namun kenyataannya masih banyak saja yang kita dengar berita tentang kasus OMDK yang di pasung, baik melalui media baik media cetak, media elektronik, maupun media online, dengan melihat kondisi mereka yang sangat prihatin saat dipasung secara ekstrim dengan cara diikat, dirantai, dikerangkeng, dimasukkan ke dalam gubuk atau rumah kosong, atau bahkan diasingkan ke dalam hutan agar tidak mengganggu masyarakat di sekitarnya.
Sampai saat ini penderita gangguan jiwa berat sudah mencapai 625.000 jiwa penduduk di Indonesia. Umumnya penderita gangguan jiwa berusia 15-64 tahun mencapai 4,6 per 1000 penduduk. Hingga saat ini penderita gangguan jiwa berat tertinggi berada di Prov. DKI Jakarta yakni 20,3 per 1000 dan terendah 0,3 per 1000 di Prov. Maluku.
Menurut data yang didapat dari Riskesdas 2007, ada sekitar 13.000-24.000 penduduk yang melakukan pemasungan bagi penderita gangguan jiwa. Pasien yang dipasung tertinggi terdapat di Kabupaten Bireun, 0,11 dan terendah di Kabupaten Toba Samosir, 0,09.
Oleh sebab itu untuk mengurangi angka gangguan jiwa agar tidak semakin banyak, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta masyarakat, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pemerintah juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan bagi penderita gangguan jiwa. Hal itu disampaikan dr. Ratna Rosita, MPHM, Sekertaris Jenderal Kementerian Kesehatan pada pertemuan lintas sektor dalam mencapai akses kesehatan jiwa dan Menuju Indonesia Bebas Pasung di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Mengenai masalah OMDK dalam hal ini peran puskesmas di beberapa daerah mampu menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa serta menyediakan pengobatan yang diperlukan. Lalu Rumah Sakit Umum juga mendukung penyediaan sarana dan fasilitas bagi penderita gangguan jiwa seperti, tempat tidur sehingga bisa merawat OMDK yang memerlukan perawatan. Serta Rumah Sakit Jiwa sebagai pusat rujukan harus mampu menjadi pusat pembinaan kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan di wilayahnya.
“Semua masalah biaya pengobatan bagi masyarakat yang tidak mampu, miskin, dia tidak membayar dari uang pribadinya tetapi akan ditanggung oleh pemerintah sepanjang dia masuk ke dalam Jamkesmas atau Jamkesda,” ujar Sekjen Kemkes.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan OMDK harus dipasung, antara lain: menggangu keluarga dan tetangga sekitarnya, membahayakan diri sendiri, dapat merusak barang, tidak adanya biaya, dan ketidakpamahaman masyarakat dalam mengatasi orang yang mengalami gangguan jiwa.
“Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus gangguan jiwa di masyarakat, menghindari pemasungan dan mendorong anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol”, ujar Menkes.
Dan yang paling penting adalah tidak boleh adanya Stigma, Diskriminasi dan Marginalisasi bagi OMDK karena hal itu akan menambah masalah kesehatan dalam hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar